Bahan Ajar Sejarah Indonesia Perang Puputan Jagaraga di Bali

Perang yang terjadi di Bali pada masa melawan kolonial Belanda pada tahun 1844 disebut juga dengan perang Puputan. Perang Puputan berarti perang habis-habisan.

Menurut Wikipedia Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Istilah ini berasal dari kata bahasa Bali "puput" yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis / "mati".

Upaya Belanda Masuk Ke Bali
Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali, tidak sekedar urusan dagang tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia BeIanda.

Gambar. I Gusti Ngurah Ketut Jlantik
Sumber. http://www.buleleng.com/jelantik9.jpg

Tetapi dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Untuk itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi, kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. 

Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), dengan Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan (22 Juni 1843). 

Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.

Pengertian Hukum Tawan Karang
Pada sekitar abad 18, para penguasa Bali menerapkan hak tawan karang, yaitu hak yang menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan Bali berhak merampas dan menyita barangbarang dan kapal-kapal yang terdampar dan kandas di wilayah perairan Pulau Bali.

Sebab Perang Puputan
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak (daerah Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng.

Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.

Jalannya Perang Puputan
Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda yang menuntut agar kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak tawan karang. 

Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang Kerajaan Buleleng. 

Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di Pantai Buleleng.

Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan Buleleng dapat menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.

Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken), Istana raja telah terkurung rapat, I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.

I Gusti Ketut Jelantik, patih Kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang bernama Desa Jagaraga. 

Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. 

Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. 

Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh. 

Di benteng ini berkumpul tidak saja Laskar Buleleng, tetapi juga laskar dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, seperti Karangasem, Mengwi, Gianyar dan Kelungkung. 

Benteng Jagaraga dipertahankan 15.000 orang, dengan 2000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak.

Kesibukan yang terjadi di Jagaraga dilaporkan ke Batavia oleh Belanda. Pada tanggal 7 Maret 1848, kapal perang Belanda yang dikirimkan ke Batavia tiba di pantai Sangsit, dengan kekuatan 2265. 

Serangan pertama ditujukan ke Sangsit dan Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke benteng Jagaraga tanggal 8 Juni 1848. 

Serangan ini gagal, karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. 

Belanda mundur sampai ke pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia. Batavia menolak permintaan Van der Wijck dengan alasan tenaga sangat terbatas. 

Oleh karena itu Van der Wijck memutuskan untuk kembali ke Batavia bersama sisa laskarnya. I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan, bertekat untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali seluruhnya.

Rupanya Jenderal Michiels dapat menginsyafkan pemerintahnya akan pentingnya menguasai pulau Bali. 

Akhir Perang Puputan
Pada tanggal 15 April 1849, Jenderal Michiels bersama tentaranya mendarat di pantai Sangsit. Pasukannya berjumlah 15.235 orang, yang terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. 

Di samping itu terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung. Pengerahan pasukan demikian besarnya menunjukkan Bali memang penting di mata Belanda. 

Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimkannya ke benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang benteng Jagaraga. 

Mereka menyerang dari dua arah, yaitu dari arah depan dan dari arah belakang benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. 

Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. 

Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.

Sumber Bahan Ajar
  • Kemdikbud. 2014. Sejarah Indonesia. Kemdikbud : Jakarta. Halaman 111-114.
  • Wikipedia. Puputan diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Puputan pada tanggal 2 November 2016
  • Sindonews.com Pertempuran Sengit Pasukan Patih Jelantik Melawan Belanda di Jagaraga. Diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/1051561/29/pertempuran-sengit-pasukan-patih-jelantik-melawan-belanda-di-jagaraga-1444313532/30 pada tanggal 2 November 2016

oOo

0 Response to "Bahan Ajar Sejarah Indonesia Perang Puputan Jagaraga di Bali"

Posting Komentar